Selasa, 15 Oktober 2019

the Story-1


Halo, perkenalkan namaku Alfa. Tentu saja hanya nama panggilan. Aku laki-laki. Sekarang aku sedang berkuliah di perguruan tinggi negeri di Jawa Timur.

Ketika menulis ini entah apa yang kurasakan, tapi banyak sekali. Rasa bersalah, marah, cemas, penyesalan, frustrasi, malas, hingga ketakutan. Karena aku baru saja melakukan kesalahan.

Tujuanku menulis ini adalah bahwa aku....., aku tidak tahu bagaimana memulainya dan apa yang akan kubahas. Tetapi, sejujurnya aku orang yang tertutup, tidak mau membicarakan masalahku kepada orang lain, teman, bahkan keluarga. Entah kenapa aku merasa malu saja. Kadang ketika bersama seseorang (yang sangat dekat), aku berkinginan untuk mengatakannya, tapi selalu saja hanya bertahan di pikiran.

Yang selalu ingin kukatakan kepada orang-orang, termasuk orangtuaku adalah bahwa aku menderita semacam kecemasan. Social Anxiety Disorder (SAD) atau gangguan kecemasan sosial atau fobia sosial. Entah benar atau tidak, Bipolar Disorder karena aku mengalami beberapa gejalanya. Kedua Disorder itu sepertinya sama. Ah, entahlah. Oh ya, aku juga orang Introvert. Kepribadian tersebut sepertinya yang mempengaruhi kedua disorder itu.

Aku ketika gelisah/cemas/takut akan merasa seperti nafas terasa sesak, gatal-gatal di wajah bagian rahang dan leher, wajah memerah (nge-blush atau apalah itu sebutannya), bukan gemetar tapi seperti di dalam tubuh terasa aneh karena ngeri, hingga kalau parah akan merasa jantung berdegup kencang dan kepala terasa pusing.

Aku ingin menceritakan awal mula aku menderita SAD. Entah benar atau tidak ingatanku, tapi yang kuingat adalah sebuah unforgettable moment ketika aku merasakan kecemasan yang sangat hebat.

Pertama-tama, aku adalah alumni sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kota Jogja. Waktu itu kalau tidak salah tahun 2012 atau 2013, pokoknya aku masih kelas dua SMP. Di sekolahku di tingkat SMP, pencak silat adalah satu dari dua ekstrakurikuler yang wajib diikuti. Dan ketika kelas dua SMP itu aku memiliki ambisi yang sangat tinggi, yaitu ingin membuktikan kepada teman-temanku bahwa aku adalah orang yang kuat, agar mereka tidak menggangguku.

Kakak kelas yang berada di tingkat SMA membuka pendaftaran anggota pencak silat bagi para siswa, SMP hingga SMA. Karena ambisi itu begitu kuat di hatiku, aku memutuskan untuk ikutan mendaftarkan diri. Para siswa yang sudah mendaftar harus mengikuti dua tahap ujian masuk pada hari "akhir pekan" sekolahku.

Akhirnya di tahap pertama itu aku merasa sangat menyesal dan menderita dengan keputusan bodohku. Di malam tahap pertama itu aku babak belur dihajar oleh salah satu anggota pencak silat, baik secara fisik dan moral. Aku tahu itu sebenarnya salahku, karena memutuskan untuk menyerah. Tapi sejak hari itu hanyalah penyesalan yang kurasakan. Momen dimana aku menyerah langsung menyebar ke seluruh asrama, sehingga banyak yang mengejekku.

Aku sudah berpikiran bahwa aku tidak akan lolos di tahap pertama ini. Tapi, ternyata tidak. Aku lolos. Meski ketika diumumkan terjadi kesalahan tulis nama. Nama-nama yang diumumkan terdapat namaku, tapi hanya satu kata nama saja tanpa ada nama belakang dan nama depan. Kebetulan nama itu terdapat dua orang dari para pendaftar. Aku dan (yang waktu itu) teman baikku. Ketika diumumkan untuk berkumpul bagi yang nama-nama yang lolos, aku langsung bertanya kepada salah satu anggota mengenai hal ini. Hasilnya adalah kami berdua dinyatakan lolos begitu saja.

Rasa kekhawatiran-lah yang kurasakan ketika pulang ke asrama. Aku sudah yakin bahwa aku tidak lolos di tahap pertama, jadi aku tidak akan merasakan penderitaan yang kemungkinan lebih berat lagi di tahap kedua. Aku juga tidak akan dikeroyok lagi hingga terpaksa menyerah. Aku juga tidak akan mempermalukan diriku dihadapan teman-temanku lagi. Namun, semua itu sirna ketika mengetahui bahwa aku boleh (harus) mengikuti tes tahap kedua.

Hingga tibalah hari dimana malam tes tahap kedua dimulai. Aku benar-benar merasa gelisah sepanjang hari. Apakah aku harus tetap mengikutinya? Waktu itu aku benar-benar bodoh, mengapa tidak aku pulang saja dengan macam-macam alasan agar tidak harus ikut. Sorenya aku benar-benar merasa tertekan, depresi, jantung berdebar sangat kencang, dan lain-lainnya. Tapi aku berhasil menyembunyikannya dari teman-temanku. Aku hanya dijadikan objek latihan oleh teman sekelasku yang juga lolos di tahap pertama, meski sebenarnya dia sedang ingin mengajakku latihan agar aku tidak jadi bulan-bulanan lagi. Kami saling tendang sambil berusaha menangkis. Melihat semangatnya mengajakku latihan, aku jadi malu mengutarakan bahwa aku takut ikut tes nanti malam.

Hingga tibalah selepas sholat Isya. Teman-temanku yang lolos tahap pertama sudah berangkat ke sekolah, sementara aku sedang bersembunyi... entah dimana itu, kamar mandi atau kamar, aku lupa. Sepertinya di kamar. Aku sedang duduk tidak tenang di atas kasur. Sangat tidak tenang. Gelisah. Ketakutan. Aku mulai berpikiran negatif, jika mereka mengetahui bahwa aku tidak berangkat, mereka akan mengataiku pengecut, pecundang, penakut, lemah, dll.

Salah satu teman sekamarku kaget ketika mengetahui aku masih di kamar. Dia otomatis bertanya kenapa masih di kamar, tapi karena sangat gelisah/takut, aku tidak bisa menjawabnya. Satu demi satu teman kamar berdatangan dan bertanya, membuatku semakin gelisah. Aku benar-benar tidak bisa tenang. Bahkan ada yang mengejekku dengan nada bercanda, yang justru membuatku semakin down.

Kuputuskan untuk meninggalkan kamar dan menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, aku hanya bisa terdiam dan sangat gelisah. hatiku sangat tidak tenang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak punya keberanian untuk berinteraksi dengan yang lain. Bagiku, percuma sharing dengan musryif (ustaz pendamping). Kucoba untuk menuju mushala asrama, dimana biasanya tempat kumpul para penghuni asrama selain shalat berjamaah, untuk belajar, makan, tiduran, menonton film dari TV yang dipasang di dinding, dll.

Ketika berada di sana, aku memilih tempat yang berjauhan dari sekumpulan teman-temanku yang sedang menonton film, Chernobyl Diaries (2012) kalau tidak salah filmnya. Namun salah satu dari mereka melihatku lalu memanggil namaku. Otomatis yang lain kaget karena aku ternyata tidak berangkat. Mereka semua melihatku yang membuatku semakin gelisah lagi. Jadi kuputuskan untuk kembali ke kamar.

Aku lupa beberapa hal setelah itu. Dengan perasaan gelisah entah kenapa (kalau tidak salah) aku bisa tidur. Paginya aku pergi ke warnet untuk menghindari teman-teman yang kemarin ikut tes tahap kedua (tes dimulai sekitar jam delapan malam dan diakhiri sekitar shubuh). Aku berada di warnet mencoba segala hal agar perasaan gelisahku mereda. Tapi gagal.

Ketika jam menunjukkan pukul delapan, aku keluar dari warnet. Dan masih bersama perasaan gelisah bahkan semakin gelisah lagi, karena seperti apa tanggapan mereka ketika sudah kembali ke asrama. Jadi aku tidak langsung pulang ke asrama. Aku sempat ingin mampir ke angkringan dekat asrama, tapi teringat kalau angkringan baru tutup shubuh tadi. Jadi aku memutuskan untuk melipir ke masjid dekat asrama. Untuk mencoba menenangkan kegelisahan dengan berwudlu dan melaksanakan Shalat Dhuha. Aku juga berdzikir sangat serius. Setelah berdzikir, aku sempat berlama-lama di dalam masjid untuk menguatkan hati.

Setelah itu kegelisahanku mereda ketika mendapati bahwa teman-temanku yang ikut ternyata tidak mempersoalkan atau tidak peduli dengan ketidakhadiranku, mereka hanya peduli dengan diri mereka sendiri. Sibuk cerita tentang pengalaman mereka dan keberhasilan mereka sambil kadang-kadang berkata kepadaku: "Kau sih, tidak ikut. Tadi seru, lho!"


Seperti itulah awal mula anxiety-ku yang kemudian semakin berkembang (masuk ke kamar teman-teman yang tidak kusukai, ngobrol dengan teman yang tidak akrab, berbicara dengan perempuan, menjadi pusat perhatian, bertemu dengan orang baru dan teman lama, dll).

Mohon maaf jika ceritanya tidak jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar